KURANG lebih 3 abad kemudian, Adam Smith (pada Muller,1992) menyebutkan menggunakan jelas bahwa suatu kemustahilan tahu ekonomi terpisah berdasarkan problem warga & nilai-nilai budaya. Oleh lantaran itu, sektor ekonomi tanpa menekankan nilai budaya berpotensi sebagai mesin penghisap, terbutakan sang harapan ingin menguasai & mengejar profit semata. Seiring berjalannya waktu, waktu empiris internasionalisasi & globalisasi, kekuatan sosial-budaya semakin terkikis & termanipulasi sang kebutuhan-kebutuhan artifisial yg disuguhkan sang intervensi kapitalisme.
Pada akhirnya zaman membangun insan sebagai sosok homo economicus yg individualis, yaitu hanya “bekerja” buat memenuhi kepuasan hasratnya saja. Dengan dalih “hayati merupakan kompetisi” sebagai akibatnya nilai kebersamaan, solidaritas, kerekatan, & rasa saling percaya dipercaya nir diharapkan lagi. Segala upaya sudah dilakukan hanya buat mengejar kebahagiaan diri sendiri sampai melupakan jika bangsa ini terbangun & merdeka pada masa kemudian lantaran adanya fondasi gotong-royong yg lekat pada kehidupan warga . Tak heran, bila syarat ini sebagai faktor penyebab semua elemen bangsa mengalami kekecewaan menggunakan melihat situasi yg terjadi hingga menggunakan hari ini, misalnya halnya perbedaan sosial yg terjadi pada mana-mana sampai terjebak pada belenggu kapitalisme.
Dalam konteks yg lebih luas, anomali ini berlaku, khususnya pada pembangunan dan sisi sosial-budaya dinegasikan. Kehadiran korporasi-korporasi yg direncanakan sebagai stimulus pembangunan justru sebagai indera penghancur bagi kehidupan warga banyak. Hal ini dikarenakan sifat dasar sistem kapitalisme, pada mana korporasi merupakan anak kandungnya yg akumulatif & eksploitatif.
Apabila pembangunan hanya berorientasi dalam ekonomi saja, maka pasti akan mengalami keruntuhan secara perlahan. Hal tadi bisa terjadi jika hanya menggunakan menyertakan kapital ekonomi menjadi senjata primer tanpa memperhatikan faktor-faktor lainnya sebagai akibatnya bisa mendistorsi agama warga mengenai kekuatan kolektivitas sosial. Modal ekonomi sudah poly diinvestasikan selama proses perubahan sampai ketika ini baik pada hal natural resources juga capital resources, tetapi faktanya belum bisa buat menaruh output yg maksimal.
Berangkat menurut perseteruan tadi, alangkah baiknya jika kita melakukan refleksi beserta yaitu, telah tepatkah jalan yg ditempuh pada melaksanakan proses perubahan? Apakah hal ini sebuah kekhilafan semata atau bahkan menggunakan sengaja selalu mengkondisikan pembangunan ekonomi hanya berlandaskan dalam kapital ekonomi? Hal ini semakin sebagai-jadi saat kurikulum dalam studi ekonomi, baik pada sekolah menengah ataupun perguruan tinggi, cenderung menerapkan kurikulum ekonomi bersifat kapitalistik.
Sehingga mindset pada diri insan jika tanpa adanya kapital finansial, maka akan mengalami kesulitan buat memperbaiki hidupnya. Logika pemikiran demikian merupakan sebuah kekeliruan, bahkan menyesatkan, lantaran menempatkan budaya materi menjadi prioritas bagi kehidupannya. Tak heran bila situasi terkini, poly insan tumbuh sebagai seorang yg individualis & egois menggunakan hanya mengejar harapan material belaka. Selain kapital ekonomi, masih ada hal krusial yg nir mampu dinafikan pada proses pembangunan, diantaranya yaitu, kapital sosial.
Di Indonesia, kajian tentang kapital sosial sangatlah sedikit, tetapi pemahaman tentang kapital sosial pada negara-negara lainnya terus berkembang yg ternyata kapital sosial adalah keliru satu faktor penentu keberhasilan pada pembangunan ekonomi.
Beberapa ilmuwan sosial misalnya Bourdieu (1986), Putnam (1993), Coleman (1988), & Fukuyama (2001), percaya bahwa kapital sosial mempunyai peranan krusial pada keberhasilan pembangunan (sosial, budaya, ekonomi, & politik). Fukuyama mengungkapkan bahwa agama (trust) adalah elemen inti berdasarkan kapital sosial (social capital). Artinya, jika pembangunan pada segala aspek ingin berhasil, maka pembangunan tadi wajib didasari sang adanya trust & selanjutnya pembangunan tadi wajib sanggup mengkreasi sedemikian rupa sebagai akibatnya trust bisa terus terakumulasi. Menurut Fukuyama, kapital sosial mempunyai dimensi yg luas menyangkut segala sesuatu yg menciptakan rakyat bersekutu buat mencapai tujuan beserta atas dasar kebersamaan & pada dalamnya diikat sang nilai-nilai & kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh & dipatuhi.
Sebagai makhluk sosial, insan nir bisa hayati sendiri sebagai akibatnya membutuhkan insan-insan lainnya buat bekerjasama. Di tengah-tengah rekanan antar insan tadi akan adanya kehadiran kiprah kapital sosial. Menyibak kiprah kapital sosial, kiranya nir terlalu dini buat merelevansikan & mengungkapkan koperasi menjadi forum yg tepat. Koperasi merupakan entitas yg mendefinisikan diri menjadi serikat orang. Berbeda menggunakan korporasi yg pendiriannya dari berdasarkan serikat kapital (capital based association), koperasi lebih menekankan dalam fungsi pembangunan yg berpusat dalam insan (human centre development). Berdasarkan landasan tadi, telah tentu sebagai tugas koperasi buat sanggup mengartikulasikan kapital sosial pada konteks yg lebih luas demi kepentingan & kemajuan beserta.
Koperasi Dalam Perspektif Modal Sosial & Modernisasi – Koperasi pada Indonesia sudah diamanahkan pada rumusan perkoperasian pada pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat 1, pada mana koperasi dijadikan menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Koperasi pun mempunyai fungsi menjadi gerakan ekonomi warga misalnya yg termaktub pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 mengenai Perkoperasian yg menempatkan koperasi menjadi badan bisnis. Selain dasar aturan pada atas, terciptanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja & Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Kemudahan, Pelindungan & Pemberdayaan Koperasi & UMKM, sebagai bukti pemerintah semakin memperkuat peranan koperasi yg sebenarnya sangat strategis. Hal ini dikarenakan pada koperasi nir hanya menekankan dalam aspek-aspek implementasi kebajikan sosial (social virtues), tetapi lebih berdasarkan itu, koperasi mempunyai peranan krusial buat mengangkat nilai-nilai kebajikan sosial tadi ke ranah publik (public sphere) yg lebih luas pada pola jejaring kolaborasi lintas suku, kepercayaan , ras, golongan, interes politik, juga stratifikasi sosial.
Dengan prinsip utamanya “capital is not master, but servant”, koperasi memiliki tujuan yg nir berorientasi dalam akumulasi keuntungan (profit oriented), akan namun diorientasikan pada fungsi peningkatan manfaat layanan (benefit oriented). Hal ini mendeskripsikan bahwa koperasi berperan krusial pada menempatkan harkat insan pada atas kapital (capital). Oleh lantaran itu, koperasi sebagai antithesis berdasarkan paham kapitalisme yg selalu mengedepankan sisi kapital & selalu berperilaku rakus guna memenuhi keserakahan oleh kapitalis.
Tetapi pada tengah syarat koperasi yg sedemikian rupa, masih ada best practice buat koperasi-koperasi pada beberapa loka pada Indonesia yg hadir & patut menerima exposure lebih luas, success story koperasi, misalnya:
1). Koperasi penghasil Baitul Qiradh Baburrayyan, menguasai pasar ekspor: 345,6 ton Kopi Arabica Gayo ke pasar Amerika Serikat & Eropa, satu-satunya koperasi yg mempunyai akses penjualan kopi eksklusif ke Starbucks;
2). Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) yg dalam tahun 2018 menduduki peringkat 94 berdasarkan 300 koperasi akbar global. Kisel bisa sebagai prototype koperasi terbaru menggunakan diversifikasi bisnis tinggi: mempunyai lima anak bisnis berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yg beranjak pada bidang penyaluran energi outsourcing, MICE, office support, infrastruktur, telekomunikasi, & digital business solution &
3). Koperasi Benteng Mikro Indonesia yg nir hanya sukses membesarkan bisnis (business), tetapi jua menaruh donasi sosial yg akbar melalui acara Hibah Rumah Siap Huni (HRSH). Dari tahun 2015 sampai akhir Maret 2021 sebesar 293 tempat tinggal diserahkan pada anggota & non-anggota.
Di beberapa negara lain, misalnya Perancis, Jepang, Jerman, Belanda, & Amerika Serikat koperasi relatif efektif menjadi badan bisnis lantaran dijalankan menggunakan baik sinkron asas good cooperatives governance (GCG). Beberapa koperasi akbar global yaitu:
1). Berdasarkan aset terdapat Bank Groupe Crédit Agricole berdasarkan Perancis, pengecer REWE Group berdasarkan Jerman, Grup Perbankan Groupe BPCE berdasarkan Perancis, perusahaan iuran pertanggungan Zenkyoren, & koperasi pertanian Zen-Noh (World Cooperative Monitor, 2018);
2). Berdasarkan omzet terdapat Zenkyoren & Nippon Life berdasarkan Jepang, dan State Farm berdasarkan Amerika Serikat;
3). Ada jua koperasi akbar lain misalnya IFFCO & Federasi Pemasaran Susu Koperasi Gujarat Limited berdasarkan India, Friesland Campina berdasarkan Selandia Baru, Rabbobank berdasarkan Belanda, Barcelona FC berdasarkan Spanyol, & sebagainya
Koperasi Indonesia yg pernah masuk menjadi koperasi akbar global merupakan Kisel & Koperasi Warga Semen Gresik, Jawa Timur. Hal yg menarik pada antara praktik, baik yg masih ada pada koperasi tadi merupakan para anggotanya menandakan kapital sosial berperan lebih krusial dibandingkan menggunakan kapital finansial. Modal sosial adalah hal baru pada diskursus ilmu sosial & baru memperoleh legitimasi akademisnya dalam lebih kurang tahun 1980-an. Hingga waktu ini belum terdapat mufakat yg niscaya & formal mengenai asal berdasarkan originalitas dan proses-proses pembentukan kapital sosial, tetapi sudah timbul kesepahaman & saling pengertian antara para pakar & peneliti mengenai kiprah krusial kapital sosial pada proses pertumbuhan & pembangunan. Secara sederhana, Bourdieu (1986) mendefinisikan, “Modal sosial menjadi asal daya yg adalah output berdasarkan struktur sosial”. Putnam (1993) lebih rinci mengungkapkan, “kapital sosial merupakan fitur berdasarkan organisasi sosial, misalnya agama , kebiasaan (atau timbal pulang), & jaringan pemasyarakatan yg bisa menaikkan efisiensi sosial menggunakan fasilitasi gerakan koordinasi.
Sementara Fukuyama (2001) mengungkapkan bahwa “Modal Sosial merupakan sebuah kebiasaan informal berlaku yg mempromosikan kerjasama antar individu”. Adapun Narayan (1997) mengartikan “Modal sosial menjadi Aturan, Norma, Obligasi, Timbal Balik, & Kepercayaan yg tertanam pada interaksi sosial, struktur sosial,& susunan institusi sosial yg memungkinkan anggota-anggotanya buat menggapai tujuan individu & komunitas”. Lebih lanjut Uphoff (1999) mengungkapkan, “Modal sosial bisa sebagai pertimbangan menjadi akumulasi beberapa jenis-jenis sosial, psikologi budaya, institusi, & aset terkait yg nir berwujud yg bisa menghipnotis sifat kooperatif”.
Berdasarkan sejumlah pengertian-pengertian pada atas, masih ada benang merah yg sanggup ditarik berdasarkan pengertian yg variatif sang para pakar. Kesimpulan sederhananya adalah kapital sosial memiliki elemen krusial yg merujuk dalam kebiasaan, agama , & jaringan. Sebagai human based association, koperasi tentu mengandalkan kapital sosial menjadi penopang pada keberlangsungan hayati organisasinya. Modal sosial berperan sangat signifikan pada gerakan koperasi., pada penelitian yg dilakukan Chloupkova, et.al (2003) yg berjudul “Building and Destroying Social Capital: The Case of Cooperative Movements in Denmark and Poland” mengungkapkan bahwa adanya efek berdasarkan kapital sosial terhadap gerakan koperasi pada Denmark & Polandia.
Penelitian tadi menyajikan data komparasi partisipasi tindakan sipil (civil actions) pada Denmark yg 2 kali lebih akbar daripada pada Polandia, dan taraf agama pada Denmark (73,9%) lebih akbar daripada pada Polandia (20,1%). Pelajaran berharga yg sanggup dipetik berdasarkan pengalaman ke 2 negara tadi adalah posisi negara bisa mendistorsi kapital sosial yg berlaku pada tatanan rakyat. Di sisi lain, Indonesia mengalami hal serupa waktu negara terlalu acapkalikali mengintervensi, bahkan cenderung mengobok-obok gerakan koperasi yg mengakibatkan lumpuhnya koperasi berdasarkan sisi internal. Peran krusial kapital sosial pada kemajuan rakyat bisa dimaknai menurut esensi kapital sosial yg merujuk dalam agama & kebiasaan koperasi sipil yg esensial supaya rakyat berfungsi menggunakan baik & berperan bagi kemajuan ekonomi rakyat yg bersangkutan (de Mello pada Alfitri, 2011). Ini mengungkapkan bahwa agama rakyat merupakan kunci berdasarkan keberhasilan kemajuan ekonomi & jua keberhasilan koperasi. apabila aspek agama berdasarkan rakyat telah terbentuk, maka gerakan koperasi akan lebih gampang pada proses pengembangannya.
Unsur primer & terpenting berdasarkan kapital sosial merupakan agama (trust) atau bisa dikatakan bahwa agama bisa dicermati menjadi sebuah kondisi keharusan (necessary condition) berdasarkan pembentukan kapital sosial yg kuat (atau lemah) berdasarkan suatu rakyat. Kepercayaan mempunyai kekuatan pada menghipnotis prinsip yg melandasi kemakmuran sosial & kemajuan ekonomi yg dicapai sang suatu komunitas atau bangsa (Putnam, 2000).
Rasa saling percaya ini tumbuh & berakar berdasarkan nilai-nilai yg inheren dalam budaya grup. Kepercayaan adalah tenaga kolektif rakyat atau bangsa buat mengatasi kasus beserta & adalah asal motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi rakyat atau bangsa (Hasbullah, 2006). Energi kolektif rakyat atau bangsa, dianggap sang Durkheim (1973) menjadi solidaritas organik (organic solidarity), atau poly jua disebutkan sang para penganut genre ekonomi baru menjadi solidaritas spontan. Sejalan menggunakan hal tadi, Gambetta (2000) menyatakan bahwa aneka macam tindakan kolektif yg didasari atas rasa saling percaya yg tinggi (high trust) akan menaikkan partisipasi rakyat dalam aneka macam ragam bentuk & dimensi, terutama pada konteks menciptakan kemajuan beserta & kemajuan pada bidang ekonomi. Filosofi dasar berdasarkan koperasi pun serupa yaitu menciptakan kemajuan beserta yg disertai tindakan kolektif, maka sebagai kewajiban para anggota koperasi buat saling mempercayai satu sama lain menggunakan sesama anggota. Dalam koperasi masih ada terminologi yaitu pengurus menjadi ujung tombak berdasarkan keberhasilan suatu koperasi sebagai akibatnya seluruh aspirasi & jujur berdasarkan anggota diemban dalam posisi pengurus tadi. Hal ini yg melatarbelakangi kewajiban pengurus buat sanggup menerjemahkan bunyi-bunyi berdasarkan anggota & mengaplikasikannya pada tindakan konkret.
Ini sebagai ujian agama , apabila para anggota menaruh agama secara penuh pada para pengurus menjadi eksekutor, maka visi-misi koperasi tadi akan lebih gampang buat digapai. Di antara poly peneliti yg merujuk ke jaringan menjadi asal krusial berdasarkan tumbuh & hilangnya agama , Nahapiet & Ghosal (pada Alfitri, 2011) mengungkapkan strata agama individual yg bersumber berdasarkan nilai-nilai berikut: a) kepercayaan atau agama yg dianut; b) kompetensi seseorang; & c) keterbukaan, yg sudah sebagai kebiasaan pada rakyat & diyakini sang seseorang. Kepercayaan pada strata rekanan sosial adalah atribut kolektif buat mencapai tujuan-tujuan grup yg didasari sang semangat altruisme, timbal pulang sosial, & homo ets homo homini. Coleman (1988) menyatakan bahwa dalam strata rekanan sosial, asal agama dari berdasarkan kebiasaan sosial yg sudah inheren dalam stuktur sosial komunitas (rakyat/bangsa) yg diikat menggunakan nilai-nilai budaya.
Lebih lanjut, Wolfe (1989) yg dikutip sang Alfitri mengungkapkan asal agama merujuk dalam kebiasaan terutama kaitannya menggunakan kepatuhan anggota pada grup dalam beragam kewajiban beserta yg sebagai konvensi nir tertulis dalam grup tadi. Penjelasan berdasarkan Wolfe sekiranya relatif buat melihat bagaimana agama bisa hadir pada gerakan koperasi. Anggota koperasi memang bersifat sukarela, terbuka dan inklusif, tetapi harus tunduk terhadap kebiasaan atau nilai yg inheren menggunakan koperasi. Pada dasarnya nilai-nilai ini nir tertulis, tetapi pada perkembangannya prosesi koperasi terbaru melahirkan ICIS (International Co-operative Identity Statement) yg merepresentasikan & menjunjung nilai-nilai universal misalnya: keswadayaan, swa-tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, kesetaraan, keadilan & kesetiakawanan. Nilai-nilai tadi merupakan warisan & tradisi para pendiri koperasi yg percaya dalam nilai-nilai etika misalnya: kejujuran, keterbukaan, & peduli terhadap orang lain atau tanggung jawab sosial. Tampaknya kita nir hanya mengingat kembali, tetapi jua menjalankan nilai-nilai tadi secara kolektif. Penekanan inilah adalah konsekuensi logis berdasarkan gerakan koperasi tadi & nir adanya jalan lain. Ketujuh nilai ini sebagai prasyarat yg harus dipikul & dilaksanakan supaya hadirnya agama . Berbeda menggunakan korporasi, anggota koperasi mempunyai muti-kiprah. Selain menjadi pemilik & pemodal, anggota koperasi merupakan pengguna sekaligus pengawas berdasarkan berjalannya koperasi. Bahkan anggota koperasi pun perlu sebagai penganjur bagi koperasinya sendiri.
Seluruh anggota koperasi wajib mempunyai pencerahan diri pada mengemban tanggungjawabnya. Dalam bahasa Durkheim, perlu adanya “collective conscience” yakni, pencerahan kolektif berdasarkan para anggota bahwa mereka merupakan bagian berdasarkan grup/koperasinya. Yang sebagai dasar buat menyatukan anggota merupakan perasaan sebagai akibatnya pengetahuan, ide, & kiprah orang perorang nir akan membentuk manfaat yg signifikan. Oleh karena itu, para anggota koperasi akan menyatukan diri & saling bekerja beserta. Selanjutnya nilai demokrasi mempunyai arti bahwa penyelenggaraan koperasi dilaksanakan wajib secara demokratis. Dalam memilih kebijakan koperasi wajib mengikutsertakan seluruh elemen, baik itu anggota, pengurus, pengawas, & lainnya buat bermusyawarah beserta. Semua kebijakan dibentuk & dilaksanakan secara deliberatif. Kemudian nilai kebersamaan berarti bahwa kemajuan atau kemunduran koperasi adalah output berdasarkan proses yg dilakukan secara beserta-sama. Sehingga koperasi nir mengenal istilah “aku”, melainkan “kita”. Kesetaraan, ialah bahwa setiap anggota memiliki posisi yg sama pada merumuskan kebijakan. Sejalan menggunakan nilai sebelumnya yaitu, demokrasi, pada mencapai proses demokratisasi tadi wajib berbanding lurus menggunakan nilai kesetaraan yg diberlakukan pada koperasi. Koperasi nir mengenal latar belakang sosial, kepercayaan , ras, jenis kelamin atau jabatan. Jika pada korporasi dikenal menggunakan konsep one share one vote yg bisa berujung dalam tirani kapital, maka dalam koperasi dikenal menggunakan konsep one man one vote. Nilai keadilan pada koperasi dimaknai bahwa setiap angggota diperlakukan secara adil sinkron menggunakan taraf partisipasi ekonomi atau jasa yg disumbangkan. Koperasi bukanlah sosialisme yg kaku & selalu diartikan keliru, tetapi bisa diartikan menjadi konsep sama rata, sama rasa.
Koperasi memberikan nilai keadilan yg distributif sinkron menggunakan donasi anggotanya. Logika ini dibangun menjadi langkah rekayasa sosial yg telah melekat tertanam pada jatidiri diri koperasi supaya para anggota yg jua merupakan pemilik turut berkontribusi buat menciptakan & berbagi koperasinya sendiri. Dengan adanya kiprah aktif para anggota baik pada aspek usaha ataupun sosial, koperasi sanggup buat mempeluas kemanfaatannya. Hal ini berlaku dalam setiap jenis koperasi, baik itu koperasi konsumen, koperasi pekerja, ataupun pada finansial. Nilai universal yg terakhir merupakan nilai kesetiakawanan atau solidaritas. Gerakan koperasi memupuk rasa solidaritas antar anggota menjadi kapital pada mambangun & berbagi koperasinya. Solidaritas jua sebagai unsur berdasarkan kapital sosial dalam koperasi yg bisa berdampak dalam timbal pulang pada anggotanya, baik yg bersifat eksklusif ataupun nir eksklusif. Keseluruhan tindakan pada berkoperasi nir hanya didasari dalam kepentingan eksklusif yg sempit. Konteks pada hal membantu didasari sang sifat altruisme tanpa adanya kecenderungan negatif dan bertindak tanpa konduite yg hiperbola & nir dibentuk-buat, lantaran awal terciptanya koperasi merupakan sebuah bisnis buat saling membantu antar satu menggunakan yg lainnya.
Dengan istilah lain, sifat solidaritas telah melekat menggunakan operasionalisasi koperasi. Ketujuh nilai universal pada atas merupakan pemicu agama pada koperasi. Pada waktu Koperasi Rochdale pertama kali berdiri pun didasarkan dalam semangat berdasarkan nilai-nilai tadi. apabila pengaplikasian nilai-nilai tadi dilaksanakan secara konsisten maka agama akan hadir menggunakan sendirinya. Semakin berkembang & semakin akbar kapital sosial terpupuk. Dukungan regulasi menggunakan terbitnya Undang-Undang No. 11/2020 mengenai Cipta Kerja & PP No. 7/2021 menaruh iklim bisnis yg baik pada mendorong pertumbuhan koperasi, misalnya kemudahan menciptakan koperasi, ekspansi bisnis, & mendorong ke arah pemanfaatan teknologi berita & digitalisasi. Berdasarkan Online Data System (ODS) Kemenkop & UKM per Desember 2020 menampakan sebesar 127.124 unit koperasi & 38.865 unit koperasi sudah bersertifikat menggunakan jumlah aset sebanyak Rp. 221,99 triliun, jumlah anggota sebesar 25.098.807 orang & volume bisnis sebanyak Rp 174,033 triliun.
Ditinjau berdasarkan jenisnya:
- Koperasi Konsumen (57,6),
- Koperasi Jasa (19,68%),
- Koperasi Simpan Pinjam (13,9%),
- lima,76%
- Koperasi penghasil (%,75%)
- & Koperasi Pemasaran (2,85%).
Arah kebijakan pengembangan koperasi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan peningkatan donasi koperasi terhadap PDB nasional sampai capaian sasaran lima,lima% dalam tahun 2024, & pengembangan 500 koperasi terbaru dalam tahun yg sama.
Tahun 2021 ditargetkan 100 koperasi terbaru, menggunakan taktik pengembangan:
1). Pengembangan contoh usaha koperasi melalui korporatisasi pangan;
2). Pengembangan Factory Sharing menggunakan kemitraan terbuka supaya terhubung pada rantai pasok;
3). Pengembangan Koperasi Multi Pihak &
4). Penguatan kelembagaan & bisnis anggota koperasi melalui taktik amalgamasi (spin off & split off).
Kriteria koperasi terbaru meliputi:
1). Pilar Kelembagaan, dimana daftar anggota berbasis elektronik, manajemen koperasi yg profesional, & Rapat Anggota Tahunan (RAT) online;
2). Pilar Usaha, dimana orientasi bisnis berbasis contoh usaha (hulu-hilir, kemitraan terbuka menggunakan para pihak (inclusive closed loop), sudah mempunyai pasar (offtaker), inklusif terhadap perkembangan bisnis anggota (kenaikan pangkat ekonomi anggota), & sudah memanfaatkan teknologi berita digital; &
3). Pilar Keuangan, dimana masih ada baku akuntansi yg transparan & akuntabel, dan laporan keuangan online. Diamanatkan pada UU No. 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja & PP No. 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan & Pemberdayaan Koperasi & UMKM, sebagai galat satu taktik implementatif pengembangan koperasi terbaru.
Modernisasi berbasis digitalisasi bertujuan efisiensi pada optimalisasi layanan & membuka akses ke ekosistem digital menggunakan pasar yg lebih luas. Hal tadi, sebagai indikator konkret bahwa pemerintah mendukung penemuan dalam koperasi galat satunya melalui digitalisasi & praktik penemuan perkoperasian.
Pemerintah terus berupaya melakukan rebranding koperasi menjadi entitas usaha yg terbaru & kompetitif. Koperasi jua diarahkan buat usaha berskala ekonomi yg akbar , melalui acara korporatisasi pangan yaitu contoh usaha terintegrasi berdasarkan hulu ke hilir baik pada sisi onfarm, akses pembiayaan hingga menggunakan pasar (terhubung menggunakan offtaker). Pencapaian sejauh ini:
1). Afirmasi pembiayaan sang LPDB-KUMKM menggunakan kuota sebanyak 100% buat koperasi yg bersifat ramah;
2). Reformasi supervisi koperasi melalui Permen Koperasi & UKM No. 9 Tahun 2020) &
3). Pengembangan koperasi pangan, best practise: Koperasi penghasil Baitul Qiradh Baburrayyan, yg sudah ekspor usaha ini terintegrasi berdasarkan hulu petani pada kelembagaan Koperasi, terhubung menggunakan offtaker & pembiayaan LPDB-KUMKM.
Literasi perkoperasian bagi anggota & rakyat ditingkatkan melalui pendampingan sang Gerakan Koperasi dan Pemerintah Pusat & Daerah. Lebih primer, gerakan Koperasi wajib didorong lebih aktif pada membawa misi primer & fungsi koperasi menjadi Centre of Education and Training.